Nusantaraaktual.com – Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus kembali menyoroti mekanisme seleksi anggota BPK RI Periode 2022-2027 yang saat ini sedang berlangsung di Komisi XI DPR RI.
Dilansir Tempo (10/6/2022), DPR telah mempublikasikan 10 nama calon BPK guna memperoleh masukan masyarakat yang akan dijadikan bahan pertimbangan untuk memilih 1 orang sebagai Anggota sah BPK RI Periode 2022-2027. Namun pada tanggal 28-29 Juni 2022 DPD RI menyatakan hanya menguji kelayakan 9 orang karena ada satu orang yang mengundurkan diri. Berdasarkan informasi dari Komite IV DPD RI, satu calon anggota BPK RI yang mengundurkan diri dari pencalonan adalah Anggito Abimanyu.
Sesuai jadwal, pada Selasa, 28 Juni 2022 yang lalu, DPD menguji Izhari Mawardi, Nugroho Agung Wijoyo, Rachmat Manggala Purba dan Tjipta Purwita. Pada Rabu 29 Juni 2022, dijadwalkan fit and proper terhadap Abdul Rahman Farisi, Erryl Prima Putera Agoes, Wahyu Sanjaya, Dori Santosa, dan Ahmadi Noor Supit.
Terkait hal ini, Ketua Formappi Lucius Karus menyatakan, kekuasaan nyaris mutlak di DPR dalam melakukan seleksi hingga menetapkan anggota BPK RI merupakan satu persoalan serius dalam rangka mendorong BPK sebagai lembaga audit yang independen.
“Bayangkan proses seleksi anggota BPK hanya menjadi urusan DPR saja. Berbeda dari seleksi banyak lembaga negara lain seperti KPK, MK, Kapolri, Panglima TNI, dll, yang didahului dengan pembentukan seleksi yang beranggotakan tokoh-tokoh yang kompeten dan proses seleksi yang partisipatif.” Ujar Lucius. Senin (18/7/2022).
Ia menegaskan, kekhususan proses pemilihan anggota BPK ini menjadi biang kerok terpilihnya anggota BPK yang tidak profesional, tidak kompeten dan menjadi kaki tangan kepentingan politik pengusung.
“Bagaimana bisa mengharapkan kerja yang profesional dari anggota BPK jika keterpilihan mereka hanya bermodalkan dukungan politik semata?” katanya.
Dengan modal dukungan politik semata, ia menilai anggota BPK tidak lagi independen. “Jadilah anggota BPK itu adalah singgasana lain para politisi.” Pungkasnya.
Menurutnya, BPK sebagai lembaga yang seharusnya bekerja profesional ketika digawangi politisi maka hampir mustahil akan bekerja profesional. Bagi politisi semuanya bisa dikompromikan, padahal audit keuangan seharusnya tanpa kompromi karena berbasiskan data.
“Kualitas dan integritas anggota BPK selain digerogoti oleh kepentingan di sisi lain juga oleh permainan transaksional yang tak terelakkan ketika kuasa penentuan anggota BPK sepenuhnya menjadi tanggung jawab AKD tertentu di DPR.” Tegasnya.
Proses penentuan anggota dengan hanya bergantung pada suara anggota Komisi Keuangan DPR, sehingga dirinya menduga prosenya hampir tak terpisahkan dari urusan transaksi.
Dikatakannya, seseorang yang bersaing menjadi calon anggota BPK tak cukup dengan mendapatkan dukungan dari Parpol, tetapi juga harus menyiapkan amunisi berupa uang untuk mengikat dukungan anggota DPR yang mempunyai hak suara dalam pemilihan akhir anggota BPK.
“Bukan cerita baru kalau proses seleksi di DPR selalu dipanaskan dengan isu permainan uang. Kasus Miranda Gultom dulu hanyalah yang ketahuan. Akan tetapi bukan berarti karena tidak ada yang tertangkap sekarang ini oleh KPK, permainan uang sudah tak ada lagi. Saya menduga permainan yang dalam setiap proses pemilihan selalu terjadi, hanya saja para pelakunya sudah bisa menemukan cara untuk membersihkan jejak saja.” Jelasnya.
Ia kembali menegaskan, dengan catatan suram di atas mestinya susah saatnya DPR membawa perubahan minimal dengan memastikan kandidat yang kompeten dan bukan dari kalangan politisi yang jadi prioritas untuk menjadi anggota BPK dalam seleksi yang akan datang.
“Dengan memilih anggota yang kompeten, DPR bertanggungjawab atas penguatan BPK sebagai auditor terpercaya.” Tutupnya.(*)