Robert Endi Jaweng: Perlu Visi yang Besar Membangun Daerah

Ad Widget
Endi Jaweng/Dok. pribadi

Nusantaraaktual.com, Jakarta – Endi Jaweng lama menggeluti bidang otonomi daerah dan pemerintahan. Ia mendapat pengakuan luas atas kiprahnya, baik dari akademisi maupun praktisi pemerintahan.

ROBERT Endi Jaweng menyabet penghargaan kategori “Pemerhati Pemerintahan” dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), pekan lalu. Wadah asosiasi para sarjana dan praktisi ilmu pemerintahan itu menilai, Endi sebagai sosok yang konsen dalam tata kelola otonomi dan pemerintahan. “Buat saya, ini bergengsi, karena kerja-kerja saya mendapat pengakuan dari komunitas akademik dan praktisi pemerintahan,” kata Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) ini.

Endi pernah berada di Padang, Sumatera Barat. Ia melakukan penjurian untuk Walikota Padang, Gubernur Sumatera Barat dan Bupati Agam. Pernah juga bergerak ke NTT untuk menilai Gubernur NTT dan Bupati Timor Tengah Selatan. Oleh Kemendagri, ia didaulat menjadi salah satu dari tujuh juri untuk pemberian penghargaan kepemimpinan kepala daerah (Leadreship Award) 2017.

 Konsen Pemerintahan

Kiprah Endi di bidang pemerintahan dan otonomi daerah memang bernas. Endi bergabung dengan KPPOD pada 2001. Pada 2012, ia menjadi Direktur Eksekutif KPPOD. Melalui KPPOD, Endi  fokus pada analisis kebijakan dan regulasi otonomi, baik yang dikeluarkan pusat maupun daerah. Ia mengkaji sejumlah Peraturan Daerah dan mengadvokasi pembatalan Perda-perda yang dinilai mendistorsi kegiatan usaha di daerah, khususnya untuk usaha kecil dan menengah.

Kata Endi, banyak pemerintah daerah yang bervisi pendek untuk memperoleh Pendapatan Asli Daerah yang besar dan cepat, tetapi merusak fondasi jangka panjang ekonomi daerah yang bertumpu kepada aktivitas usaha masyarakat itu sendiri. Belum lagi pungutan liar dan proses izin usaha yang berbelit, masih jamak ditemui. “Penelitian KPPOD terhadap 507  perda dari total 5.560 perda yang terbit selama 2010-2015, ditemukan ada 262 perda yang bermasalah. Dari jumlah itu, KPPOD merekomendasikan 233 perda untuk agar dicabut.”

Bagi Endi, tata kelola pemerintahan yang baik menjadi sebuah keniscayaan. Karena itu, melalui KPPOD, Endi ingin membantu para kepala daerah mewujudkan tata kelola pemerintahan. Adanya desentralisasi dan otonomi daerah, jelas Endi, menggeser pola pembangunan yang didominasi negara menuju kesempatan yang lebih terbuka bagi masyarakat dan dunia usaha. “Maka pada setiap kebijakan pemerintah haruslah tercermin suatu komitmen nyata untuk mendorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan daerah.”

Poin komitmen dan kepemimpinan kepala daerah amat penting. Tanpa hal itu, hanya menghabiskan waktu desain teknis perubahan, tapi tidak berdampak kepada perubahan kebijakan. Pada titik ini, Endi menyayangkan soal pabrik yang memproduksi para kepala daerah ini adalah partai politik, yang juga belum mengalami reformasi. “Institusi yang sama sekali kedap reformasi itu ya parpol. Lha, kita ini memilih pemimpin dari calon yang diusung partai, sementara calon independen masih lemah,” ujar Endi.

Semangat reformasi dan menjadikan daerah sebagai medan baru untuk menghadirkan kesejahteraan dan kualitas hidup lewat terobosan kebijakan masih jauh panggang dari api. “Yang terjadi, otonomi daerah menjadi ruang gelap kekuasaan. Lahirlah berbagai dinasti, praktik suap dan jual beli jabatan, dan korupsi 371 Kepala Daerah dalam sepuluh tahun,” kata Endi.

Endi mengapresiasi para kepala daerah yang membuat terobosan tata kelola dan kebijakan yang baik. Ayah satu orang anak ini, melalui KPPOD acapkali ke lapangan untuk membantu kepala daerah. Ia juga menulis sebagai kontributor dan co-author, beberapa buku tentang otonomi daerah. Pelbagai artikelnya juga wara-wiri surat kabar nasional dan jurnal nasional. Pemikirannya, juga ia sampaikan dalam seminar, diskusi publik hingga wawancara media massa baik cetak maupun elektronik.

Sempat Ditentang

Segala yang diraih Endi saat ini bukan kebetulan belaka. Ia tertarik pada ilmu ketatanegaraan sejak tahun terakhir di SMA Seminari Pius XII Kisol Flores. Di benaknya, ia ingin menjadi seorang aparat pemerintahan atau bekerja sebagai aktivis, peneliti isu-isu sektor publik. Ketertarikannya itu memberi pengaruh dalam keputusan untuk tidak melanjutkan panggilan ke Seminari Tinggi. “Orangtua marah besar. Mereka mengancam tidak membiayai saya jika tidak ke Seminari Tinggi,” Endi mengenang hal ihwal ia menekuni ilmu pemerintahan.

Endi perlahan mengajak bicara sang ayah. Tanpa mengucap kata restu, sang ayah hanya berharap, Endi kuliah mengambil ilmu yang lapangan kerjanya lumayan banyak dan prestius di Flores. “Ilmu itu berhubungan dengan pamong praja agar bisa menjadi PNS atau pegawai pemda kelak,” kata Endi.

Endi kadung nekad. Saat ujian masuk UGM Yogyakarta, Endi disodorkan tiga jenis pilihan jurusan, namun ia hanya memilih jurusan Ilmu Pemerintahan, tanpa ada opsi alternatif lain. Ia pun diterima di jurusan Ilmu Pemerintahan di UGM.

Di Jogja, Endi bergabung ke PMKRI dan menjadi Sekjen PMKRI Yogyakarta 1998-1999. Endi gamblang menyebut, masa di PMKRI ia belajar membangun dialog, pertemanan lintas agama di Yogyakarta hingga Jakarta. “Organisasi membuat saya memiliki aneka keahlian hidup sehingga dapat melapisi bekal keilmuan yang diperoleh dari kampus,” tegas Endi.

Pada awal milenium, ia menjadi Pengurus Pusat PMKRI di Jakarta. Pada masa ini, Endi oleh mendiang Tommy Legowo dan Sebastian Salang untuk mengurus Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia. Tapi itu hanya berlangsung sebentar. Endi lantas hijrah ke KPPOD.

Kini, setelah 16 tahun berkarya di KPPOD, Endi sudah mengunjungi sekitar 300 kabupaten/kota dari Aceh sampai Papua. Kadang ia harus menyusuri daerah-daerah pedalaman di Indonesia. Ia terbiasa menaiki kapal belasan jam untuk pergi dari satu kota ke kota yang lain. Misalnya dari Bitung ke Sangihe dan Talaud. Endi juga terbiasa menempuh perjalanan malam untuk membelah hutan lebat dan sepi, seperti yang ia alami di Sumatera Utara.

Suatu ketika, ia melakukan perjalanan ke Bener Meriah di pedalaman Aceh untuk bertemu seorang bupati. Kunjungan itu dimaksudkan untuk menjalin kerja sama KPPOD dengan pemerintah daerah setempat. “Jauh-jauh ke pedalaman, eh ternyata ketika sampai di lokasi, baru diberi kabar bahwa bupati mendadak ada acara di Jakarta.”

Baginya, semua pengalaman suka dan duka yang ia rasakan dalam kunjungan itu telah menjadi sekolah kehidupan yang membentuknya. “Saya selalu bilang begini; Tuhan, acara ini bukan ajang bagi saya berunjuk kekuatan dan ketenaran KPPOD, tapi pakailah saya dan para pembicara, sebagai juru bicara-Mu untuk menyampaikan kritik positif sekaligus pikiran baik kami, bagi bangsa ini,” kisah Endi.

Profil Robert Endi Jaweng

TTL                   : Flores, 17 November 1976
Istri                    : Margaretha Maria Hapsari
Anak                 : Chrispinus Bimo Pinanditho

Pendidikan     

  • S1 Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL Universitas Gadjah Mada (1995-2001)
  • S2 Administrasi Publik di Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia (2009-2012)
  • Ekonomi Regional/Lokal, Regionomica-Berlin, Jerman (2006)

Pekerjaan         

  • Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi (2012-sekarang)
  •  Tim Ahli untuk penyusunan RUU Desa 2011-2012
  • Tim Ahli RUU Daerah Kepulauan 2017-2018 dan RUU Daya Saing Daerah 2018-2019.
  • Tim penilai pada Piala Citra Pelayanan Prima/CPP: Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik 2010 dan 2012,
  • Anggota Ombudsman RI

Buku                 

  • UU Minerba 2009: Tinjauan Desentralisasi Pertambangan”, dalam buku “Pertambangan di Flores-Lembata: Berkat atau Kutukan?” (Penerbit Ledalero, 2010).
  • Jalan Desentralisasi bagi Pelayanan Publik: Sebuah Catatan Umum, dalam buku “Pembangunan Inklusif: Prospek dan Tantangan Indonesia” (LP3ES, 2012).
  • Kepemimpinan di Era Otonomi Daerah”, dalam buku ”Waduk Pluit: Semangat Membangun Jakarta Baru” (Kompas, 2014).

Penghargaan

  • Penghargaan MlPl Award untuk Kategori Pemerhati Pemerintahan

Related Posts

Ad Widget

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *